Perguruan Kungfu Selatan WingChun Naga Putih ini disebarkan di Indonesia tahun 1970 oleh Pendekar (Bhiksu) She Han Giok Gian. Grandmaster Giok Gian adalah salah satu dari delapan pendekar terhebat di China Selatan abad XX awal yang lari dari China pada saat perang Sino-Jepang.
Sebelumnya, GM Giok Gian memberi nama perguruannya dengan nama Perguruan Kuntao Shaolin Selatan Naga Hitam. Perubahan nama tersebut disebabkan karena kata “hitam” memiliki konotasi negatif di mata masyarakat dan kurang disukai sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi negatif. Namun demikian, maksud dan tujuan kata “hitam” sesungguhnya untuk menunjukkan teknik dan jurus yang sangat ampuh dan sulit ditandingi.
“Beliau sampai ke Indonesia benar-benar dengan perjuangan berat. Bayangkan, Beliau pernah beberapa bulan berada di atas kapal tanpa makanan. Hanya minum air laut saja,” cerita Master Gatut Suwardhana, penerus Grandmaster Giok Gian.
GM She Han Giok Gian sampai di Malang, Jawa Timur, tahun 1950-an. Beliau memutuskan untuk menetap di sana, tepatnya di samping Klenteng Eng An Kiong di Malang, menyamar sebagai tukang sapu di tempat tersebut.
Semula, GM Giok Gian mengajarkan ilmu beladiri Shaolin Selatan dengan nama Kuntao kepada kerabat-kerabatnya yang laki-laki serta WingChun kepada putrinya, yaitu Vivi Tan Gian. GM Giok Gian mulai menerima murid pada tahun 1970 untuk materi Kuntao yang pada saat itu masih menggunakan metode tradisional yang terkenal sangat berat, salah satu muridnya adalah Mas Dana, panggilan akrab Master Gatut Suwardhana.
Mas Dana bercerita bahwa GM She Han Giok Gian tidak sembarangan menerima murid. “Kala itu saya diantar oleh Bapak saya yang tentara. Sampai di vihara, saya diminta oleh Bhiksu untuk berjalan. Rupanya beliau mengetes dan melihat cara jalan saya. Beliau kemudian bilang ke bapak saya kalau saya berbakat dan saya diterima,” ungkap Mas Dana yang berlatih kungfu sejak berusia tujuh tahun.
Latihan yang berat tersebut hanya menyisakan lima orang murid saja yang bisa bertahan hingga sampai menjadi master pada tahun 1985, termasuk Mas Dana.
“Dulu setiap kali pulang latihan, kaki saya pasti selalu terseok-seok. Jarak rumah dengan tempat latihan sekitar delapan kilometer,” bebernya sambil mengenang beratnya latihan kala itu.
“Saya ingat saat itu saya dan murid-murid lainnya harus lari sejauh 40 kilo (meter-red) dari Malang ke Gunung Kawi untuk ujian di sana. Untuk mengisi stamina, kami hanya dibekali dengan patahan gula jawa untuk dimakan. Sesudah mati-matian diuji, saya dan teman-teman pulangnya dengan jalan kaki menempuh jarak yang sama lagi,” kenang pria yang pernah mematahkan leher sapi mengamuk dengan membantingnya sambil tersenyum.
Di vihara itu, dibuatlah tembok yang sangat tinggi. Sebabnya, selain untuk alasan keamanan dari rezim Orde Baru yang tidak memperbolehkan berkembangnya kebudayaan Tionghoa, juga karena alasan kerahasiaan yang memang sudah menjadi tradisi latihan Kungfu tradisional pada umumnya.
Kehebatan GM Giok Gian menjadi buah bibir bagi praktisi beladiri di Malang kala itu. “Saya ingat Beliau pernah melempar pisau silet yang diselipkan di sela-sela jarinya dari jarak jauh ke arah kaca yang agak tebal. Kemudian kaca itu pecah,” ungkapnya.
Karena itulah, mulai tahun 1971, GM Giok Gian sering dikunjungi oleh beberapa guru besar dan master dari beberapa aliran Karate, Taekwondo, dan Shorinji Kempo untuk diajari teknik-teknik Kungfu, khususnya kunci-kuncian dan qin na.
Namun demikian ketika Mas Dana masih duduk di bangku SMP, GM Giok Gian menjadikan Mas Dana sebagai pasangan berlatih WingChun bagi putrinya. Sementara, murid-murid lainnya tidak diperkenankan berlatih WingChun. Sembari menyelam minum air, dari Ci Vivi inilah Mas Dana menekuni WingChun di bawah pengawasan GM Giok Gian, sekaligus mematangkan Kuntao-nya.
Mas Dana dibesarkan di Kompleks Pagas Kertanegara TNI-AU Abdurrahman Saleh, Singosari, Malang. Pada masa itu pula Mas Dana mengajarkan Kungfu di Ikatan Remaja Kertanegara (IKRA) di bawah naungan Komandan Abdurrahman Saleh Malang. Anak-anak IKRA menjulukinya dengan “si Badan Besi” atau “si Tangan Besi”.
Tahun 1985, GM She Han Giok Gian mengajak lima muridnya yang masih bertahan, termasuk Mas Dana, untuk mengambil ujian Master di China. “Ujian dasarnya bagi orang awam tidaklah mudah. Saya disuruh bertahan melakukan kuda-kuda mabu selama kalau nggak sejam ya dua jam,” ujar pria kelahiran Malang tahun 1964 dengan sumringah.
Tahun 1986 atau 1987, GM Giok Gian dipanggil oleh Tuhan yang Maha Esa. “Pas Beliau meninggal, tubuhnya kering dan sangat harum. Anehnya, tubuh Beliau tidak terbakar saat dikremasi,” katanya.
Untuk melanjutkan perjuangan Grandmaster Giok Gian, Mas Dana mulai memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan mengembangkan Perguruan Shaolin Selatan Naga Putih di Jakarta.
Tahun-tahun awal merantau, Mas Dana masuk ke Pengurus Daerah (Pengda) DKI Jakarta beberapa saat setelah berdirinya PB Wushu di DKI Jakarta tahun 1990. Mas Dana banyak terlibat sebagai wasit Sanshou (Kickboxing China).
Setelah memiliki bekal pengalaman yang cukup, Mas Dana memutuskan untuk membuka cabang pertama perguruan ini, yaitu di Universitas Gunadarma, Depok. Kemudian dibentuklah beberapa cabang lagi di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, seperti UI, IISIP, Universitas Pancasila, Politeknik UI, IKIP, dan AKIP. Perguruan ini juga telah diakui oleh PB Wushu Indonesia sebagai salah satu Beladiri China resmi di Indonesia. Atas dasar ini, 28 Juli tahun 1990 dianggap sebagai kelahiran Perguruan Shaolin Selatan Naga Putih secara de jure.
Pada masa periode awal Naga Putih ini, materi yang diajarkan adalah Shaolin Selatan. Sementara WingChun hanya diajarkan pada saat itu khusus untuk beladiri perempuan.
Pada 2001, Perguruan Kungfu Shaolin Selatan Naga Putih melakukan restrukturisasi kepengurusan organisasi dan mengembangkan formula bisnis pelatihan beladiri untuk Satuan Pengamanan (satpam) perkantoran dan perhotelan. Walhasil, cabang perguruan ini bertambah, yaitu 12 Hotel Menteng Group dan Bank Mandiri Pusat. Namun sayang, perguruan ini akhirnya mandek.
Tahun 2008, darah mudah masuk ke perguruan ini. Tongkat manajemen yang mulai stagnan kemudian diestafet ke pengurus baru. Harapannya, agar perguruan Naga Putih dapat berkembang sangat pesat.
“Selain di Universitas Gunadarma, awalnya saya coba buka pelatihan Shaolin Selatan untuk umum di Tebet tahun 2008. Tapi peminatnya sedikit dan nggak bertahan. Mungkin karena latihannya berat dan membutuhkan kesabaran sebelum sampai ke tahap penerapan teknik. Karena banyak orang mendesak saya untuk membuka kelas WingChun, apalagi setelah film Ip-Man booming, digantilah kelas tersebut menjadi kelas WingChun itu pada tahun 2009,” pintanya.
Benar, pada Agustus 2009, perguruan ini kemudian berganti lagi menjadi Kungfu WingChun Naga Putih karena memfokuskan diri pada materi WingChun. Pengembangan perguruan yang dikenal dengan nama BaiLong WingChun ini masih terus dilakukan untuk dapat menyehatkan masyarakat serta mengabdi kepada bangsa dan negara.
sumber: nagaputih.com
sumber: nagaputih.com
Tidak ada komentar: